Wednesday, February 3, 2016

Kepulauan Sula Dalam Dunia Maluku

Diantara kawula ternate yang paling berharga adalah rakyat sula yang tinggal di tiga pulau utama yaitu Sulabesi, Taliabu dan Mangole. Bagian barat dari Mangole disebut Sapelula, sementara bagian timur dibagi menjadi dua dengan bagian sebelah utara disebut sebagai waitina dan bagian selatan adalah Mangole sendiri. Pada 1679 hanya terdapat dua desa di pulau mangole keduanya diwilayah mangole. Salah satu dari desa tersebut ditinggali tujuh atau delapan warga yang telah meninggalkan sapelula dan begabung dengan Mangole. Desa lainnya terdiri dari orang-orang waitina. Menurut orang-orang sula, diwaktu yang telah lalu dan bahkan pada masa bangsa spanyol dan bangsa Portugal masih berada disana (yaitu abad XVI), pulau-pulau itu dipadati oleh penduduk. Akibat -serbuan yang terus menerus dari orang-orang papua, khususnya oleh gamrange (‘tiga perkampungan’, terdiri dari perkampungan di sebelah tenggara Halmahera yaitu Maba, Patani, dan Weda, tapi dalam praktiknya sering kali termasuk pulau yang dekat, yaitu Gebe), masyarakat yang bertempat tinggal disitu lalu pergi meninggalkan Sapelula dan waitina. Sula Besi dan Taliabu juga nyaris ditinggalkan. Kebanyakan serbuan dari Papua ini ditujukan kepada banggai, tetapi dalam perjalanan pulang dari Banggai, orang-orang Papua ini biasanya berhenti di Pulau Sula dan menyerang para penduduk, khususnya pulau Taliabu, sebagaimana yang terjadi kepada pulau Obi diselatan Bacan. Pada 1682, situasi telah berubah dan orang-orang mulai kembali ke Sulabesi. Pada tahun itu Sulabesi teridiri dari 10 desa, pada 1706 sebanyak 9 desa, dan 1710 sebanyak 13 Desa. Tahun 1706 terdapat 3205 orang-orang prajurit di pulau tersebut, tapi tidak ada lagi data mengenai dua tahun yang lain. Taliabu mempunyai delapan perkampungan dan populasi penduduk mencapai 532 orang prajurit, sementara Mangole mempunyai tiga perkampungan terdiri dari atas 205 penduduk.
Tidak seperti tempat-tempat di wilayah pinggiran di sebelah barat Ternate lainnya, Pulau sula diperintah secara langsung oleh perwakilan dari sultan Ternate. Sultan Ternate di pulau ini diwakili oleh seorang salahakan dari keluarga Tomaitu yang bertempat tinggal di Ipa (Sula Besi), dengan kawulanya yang merupakan orang-orang ternate yang banyak dan mengendalikan kedua pulau baik itu Sulabesi maupun Mangole. Pulau Taliabu di bawah perwakilan sultan Ternate yang lain, Kalaudi, yang tinggal di pulau ini dalam golongan kecil (coterie) yang terdiri dari rakyat Ternate. Dikatakan bahwa dulu Taliabu berada di bawah kendali Kerajaan Banggai, “ketika Banggai sedang berada pada puncak kejayaannya menetapkan hukum pada semua tetangganya, yang kemudian menjadi sangat lemah” Sapelula, Mangole, dan waitina juga dikatakan pada suatu waktu pernah berada dibawah kendali Bacan, sementara Sulabesi juga berada di bawah penguasa lain (Meskipun orang-orang tidak pernga mengingat kembali hal ini). Terdapat perpindahan penduduk yang sering terjadi antara pulau sula dan ternate, membuat sula mirip dengan Makian dan Halmahera, yang akibat kedekatannya dengan pusat maka terjadilah interaksi yang sangat dekat antara orang-orangnya.
Walaupun pulau sula tampak jelas dari pulau obi, buru atau banggai di hari yang cerah, masyarakat sula menceritakan kisa berikut ini menunjukkan bagaimana mereka “ditemukan” oleh orang-orang ternate. Suatu hari seorang pejabat ternate pergi ke Obi untuk menebang pohon sagu bersama beberapa orang Tidore. Di Obi, ia pergi memancing dan melihat seekor elang dengan sebuah ikan di paruhnya terbang kea rah barat. Ia lalu menyadari bahwa terdapat negeri di sebelah barat. Saat ia pulang ke rumah, ia menceritakan pengamatan ini kepada rajanya dan kemudian pergi dengan perahu bersama beberapa rekannya dan menemukan pulau sula. Pejabat ini yang kemudian disebut Kimalaha Taloki Besi, oleh karena itu dipuji karea membuat pulau tersbut menjadi bagian dari wilayah pinggiran Ternate. Ia kemudian diberi penghargaan dengan ditunjuk salahakan pertama untuk sula. Dalam versi penceritaan sula, dalam hubungannya dengan ternate tersebut, yang ditekankan adalah “penemuan” pulau ini oleh ternate dan asal usul lembaga salahakan. Pendirian hubungan ini bukanlah sebuah generalisasi masa lalu yang tidak jelas, melainkan terkait dengan individu tertentu yang diingat oleh rakyat. Bagi para penduduk sula, keberadaan mereka “yang ditempatkan” secara fisik dan simbolik dalam dunia Maluku adalah sebuah peristiwa yang pantas untuk diabadikan dalam pengetahuan (lore) lokal.

Sula adalah sebuah wilayah yang dianggap oleh Belanda menjadi “Keranjang roti dan rempah-rempah” yang tidak hanya bagi ternate, tetapi juga bagi keseluruhan Kawasan Timur Indonesia. Mereka yang berasal dari Ambon secara teratur pergi untuk mendapatkan beras dan sagu dari kepulauan Sula ini. Sula Besi adalah wilayah termakmur di sula dengan berbagai jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal. Pulau ini begitu subur, menumbuhkan jagung, ketela dan tanama berakar lain, cengkih dan persediaan beras yang bagus. Produk utama dari Taliabu dan Mangole adalah sagu yang dipanggang menjadi biscuit keras yang menjadi salah satu produk yang dikirim secara teratur sebagai penghargaan untuk sultan ternate. Pengiriman para budak dari wilayah pedalaman nonmuslim Taliabu merupakan salah satu kontribusi berharga dari pulau ini untuk ternate.



referensi : Dunia Maluku  by Leonar Y Andaya