Monday, January 16, 2017

Raja Arus Selat Capalulu


Menjelang senja berakhir di tanjung sakumata, di depan mulut selat capalulu, dan laut yang bersahabat pada nelayan, Sampan nelayan berjejer meramaikan laut biru. Lain lagi di bibir pantai. Kicauan burung dan suara desiran ombak ditutupi oleh sekawan manusia yang menunggu sesuatu dari laut. dan aku yang saat itu baru berusia 8 tahun juga bagian dari sekawanan manusia di bibir pantai tepat di bawah pohon ketapang bersama beberapa teman sebaya menunggu abah pulang dari laut.
Abah yang berangkat jam 3 sore bersama beberapa nelayan pergi merayu ikan di area raja dari arus selat di Indonesia itu. “Selat capalulu ini selat dengan arus pasang surut terkuat di Indonesia, sehingga banyak orang sering menyebutnya dengan raja dari arus” begitulah sepenggal kalimat yang pernah ku dengar dari pembicaraan kakakku saat pulang kampung menjelang lebaran tempo hari. Abah pergi melaut dengan perahu mungil andalannya. Karena memang hanya satu itu perahu yang dimiliki abah. perahu mungil abah ini hanya bisa ditumpangi dua orang dewasa. Akupun kadang-kadang menggunakan perahu mungil ini untuk bertamasya dilaut ketika abah libur melaut. Sering juga diajak oleh Abah untuk sama-sama merayu ikan ketika libur sekolah tiba.
“Sariiif,, Abah balom pulang?” suara seorang wanita yang belum terlalu tua renta, usianya sekitar 40an tahun, kepalanya ditutupi oleh celana anak bayi (kebiasaan ibu-ibu di kampung halaman), dengan wajahnya masih tersisa bedak dingin  menyapa dari jarak 25 meter dibelakangku.
“balom maak. Tapi sadiki lai ka apa. co mama lia kasana parahu su menuju kamari itu”.
“kalo bagitu aip pulang la mandi sudah, su mau maghrib sana tuh. ”
“bagitu aip mandi aer masing (baca: air laut)  sadiki e ma..” pintaku
“nanti besok saja, su mau  maghrib sana tuh” tegas ibuku.
Aku pun begegas meninggalkan bibir pantai dan berlari-lari kecil menuju rumahku untuk mandi dan bersiap-siap ke masjid. Sedangkan dibagian barat sang surya sisa beberapa jengkal lagi masuk di perut bumi. Perahu nelayan pun satu persatu mulai menjauh dari mulut selat capalulu dan mendekat di bibir pantai.
Sejurus kemudian perahu mungil abah pun sandar di tepi pantai. dan membawa beberapa ekor ikan segar yang menyerahkan dirinya dengan ikhlas kepada abah ketika melaut di selat nomor dua dunia tersebut. tak perlu menunggu waktu lama emak pun membereskan ikan untuk dijadikan lauk pada makan malam.
Aroma ikan bakar mulai merambah di sudut rumah, bahkan sampai ke tetangga-tetangga rumah. hanya orang yang hidungnya bermasalah saja yang tak dapat mencium aroma ikan bakar. Aku yang baru pulang dari masjid langsung duduk manis dimeja makan berhadapan langsung dengan ikan bakar hasil racikan emak.  kombinasi dabu-dabu lemon dan ikan bakar segar membuat gigi tak mau berhenti mengunyah namun apalah daya,tampungan lambung yang tak seberapa.
***
“Maluku utara yang luasnya sebagian besar adalah laut berbanding lurus dengan potensi perikanan. Namun kesejahteraan nelayan masih jauh dari yang diharapkan” itulah sepenggal kalimat seorang calon gubernur saat membius masyarkat dengan kata-kata manisnya. Kenyataanya, hingga saat ini para nelayan masih mengandalkan alat tradisional untuk merayu ikan dilaut. Karena bagi mereka Laut adalah ladang. Setiap hari selalu menatap langit agar samudra bermurah hati menyerahkan ikannya,  mengharap belas kasih cuaca untuk tidak meniup badainya. semua itu demi perut keluarganya.
Siang itu meski angin tak bertiup kencang namun bulan yang telah melingkar dengan sempurnah ditambah pasang surut pada siang hari membuat arus semakin menunjukkan keperkasaannya sebagai satu-satunya arus terkuat di negeri ini di ujung paling timur pulau taliabu dan ujung barat pulau mangoli.
Kebiasaan abah yang melaut pada siang hari pun ditunda karena arus selat capalulu begitu kencang keluar dari singgasananya, perahu mungil abah tak mampu melawan kekuatan arus. namun bukan berarti hari itu abah tak melaut. Abah hanya merubah jam untuk membelah laut dan memohon pada ikan-ikan untuk menyerahkan dirinya. Dan pada hari itu abah keluar melaut selesai isya. Sedangkan aku dibantu emak sibuk mengerjakan PR matematika ku yang didapat dari sekolah tadi pagi. Jam di dinding telah menunjukkan pukul 22.00 WIT, suasana malam di kampung mulai sepi. Hanya satu dua orang yang lalu lalang disana sini.
Kepalaku yang sangat akrab dengan bantal, membuat emak tidak susah saat menidurkankanku saat bayi.  Begitulah kata emak tempo hari saat pembicaraan lepas ketika kami mengerjakan PR. Dan kebiasaan itu berlaku hingga hari ini. Namun malam ini entahlah, ada sesuatu yang beda. Susah untuk terlelap. Bantal dikepala pun aku bolak-balik tak tahu berapa kali. Gelisah? Mungkin saja bisa dibilang begitu. Diluar sana suara tokek saling membalas, menciptakan sebuah instrument malam yang sangat natural.
“Saya ada dimana nih ?”bertanya dalam hati. Kaya di film-film kerajaan di tv. Orang-orang hampir semua menggunakan pakaian kerajaan. Para prajurit dengan gagah memegang tumbak dan tameng tepat di dada. Obor-obar dinyalakan dan ditempel pada dinding bangunan. Dua orang prajurit berpakaian kerajaan lewat, hampir saja aku diketahui mereka. Untung ada guci besar yang aku dapat bersembunyi disampingnya.. sekali lagi masih bertanya-tanya dalam hati. “ada dimanakah aku ini?”. Tiba-tiba aku melihat ada seseorang yang diseret secara paksa oleh dua orang pengawal. Nampaknya baju yang digunakan orang tersebut tak asing bagiku. Semakin dekat, semakin jelas siapa orang yang diseret oleh kedua prajurit kerajaan, topi coklat, kaos lengan panjang warna hijau yang sudah mulai memudar. “abaaah...” spontan. aku berteriak abah untung saja prajurit kerajaan tak mendengar suaraku. Abah diseret secara paksa, melewati di depanku. Dan ketika abah dan kedua prajurit hampir melewati sebuah pintu untuk masuk di ruangan yang lain. Aku dikagetkan dengan suara emak yang mengusir dua ekor kucing berkelahi di samping rumah.
“Ya Allah ternyata Hanya mimpi”
Apa yang terjadi pada abah malam ini. Rasa khawatir semakin membuncah. Ketika kupandang jam di dinding sudah masuk pukul 01.00 abah belum juga pulang. Diluar dua ekor kucing yang berkelahi tadi mulai memisahkan diri. Sebagai gantinya bunyi suara langkah kaki. Sejurus kemudian suara abah memanggil emak untuk membuka pintu. Alhamdulillah abah telah pulang, aku pun kembali menuntaskan tidurku.
***

Kesempatan yang dinanti-nantikan oleh anak-anak laut pun tiba, yaitu liburan sekolah. Inilah waktu paling tepat untuk bertamasya ria dengan ikan-ikan, batu karang, desiran ombak, dan pasir putih panjang. Pagi itu laut seakan tahu kalau waktu libur sekolah telah tiba, karena banyak anak-anak laut yang akan menghabiskan waktu liburan untuk bertamasya di laut. aku pun demikian. hanya tak bersama teman sebaya, melainkan menemani abah untuk ke kebun diseberang pulau Taliabu, sambil merayu ikan.

Dibagian timur sang surya nampaknya tersenyum dengan anak-anak laut. tak mau ketinggalan air laut pun ikut-ikutan berdamai. Suasana air dilaut pagi itu seperti air di dalam bejana, terdiam. Mungkin dia tahu kalau sekarang telah tiba waktu liburan banyak anak-anak laut yang akan bertamasya mengunjunginya. Namun siapa sangka kalau cobaan itu datang tak harus dengan alam yang tak bersahabat, suasana hati yang tak tenang,  kadang ketika suasana yang damai-damai saja tetapi kalau sang khalik ingin menguji hambanya maka tak ada yang bisa lari darinya.
Perahu mungil pun melepaskan diri dari tepi pantai. Aku duduk dibagian depan perahu dan abah bagian belakang. Menuju bagian timur pulau taliabu. Dan sudah pasti melewati raja arus selat capalulu. Seperti biasa ketika aku ikut melaut, dayung mungilku selalu menjadi teman setia, perjalanan kami dari tempat kampung menuju ujung timur pulau taliabu memakan waktu sekitar sejam dengan mengandalkan kekuatan otot. Di depan telah telihat batu tempat pusaran arus selat capalulu. Hari itu abah lupa kalau pagi hari waktunya pasang surut, otomatis raja arus selat capalulu keluar sangat kencang dari singgasananya meski dilaut tak ada angin yang menghasilkan gelombang laut.
Perahu kami laju mulai lambat, nampaknya raja arus mulai menahannya. Aku mulai khawatir. Namun dibelakang abah nampaknya begitu tegar menjaga keseimbangan, dan selalu menghindari dari pusaran arus. Lumba-lumba yang biasanya bermain-bermain dilaut pun tak terlihat. Burung-burung yang mencari mangsanya dilaut pun lebih memilih untuk berpuasa. Air Laut diantara pulau mangoli dan taliabu hari ini nampaknya dikuasai oleh pusaran arus. dua pusaran arus tepat di depan, abah mengesampingkan perahu mungil agar lebih dekat dengan tepi pantai. Rasa takut yang ada didalam dada ku akhirnya keluar, “abah aip tako”.”seng apa-apa aif” jawab abah. perhatian abah tertuju padaku dan lupa kalau di depan pusaran arus telah berada pas di ujung perahu mungil. Puuuuff... seluruh tubuh kami menyatu dengan air laut, untungnya aku juga bisa renang, abah pun  memerintahkan aku untuk cepat menuju kedekat batu tempat keluarnya pusaran arus. Sedangkan abah terperangkap dengan pusaran arus. kekuatan raja arus yang begitu kuat membuat abah sulit untuk melawanya. Aku hanya berteriak dan menjerit, lagi-lagi abah hanya memerintahkan aku untuk menyematkan diri, dengan bantuan sang maha kuasa aku berhasil mendekati batu tempat keluarnya pusaran arus. abah semakin tak terlihat. Mungkin saja telah dibawa oleh dua prajurit itu yang muncul pada mimpiku beberapa hari lalu.
Tangisan seorang bocah anak laut pecah menutupi keluarnya arus dari singgasananya. Hampir sejam air mata tak berhenti, diikuti dengan suara tangisan di atas batu goso. Suara tangisan itu akhirnya terdengar oleh dua bapak yang sedang mengolah kopra di dekat batu goso. Mereka pun mencari sumber suara tangisan bocah itu. Dan melihatku duduk diatas batu sambil menangis karena abah dibawa pergi raja arus selat capalulu. kedua bapak itu yang juga sekampung denganku langsung menanyakan kronologis kejadian, aku pun mulai menceritakannya dengan isak tangis. Mata kedua bapak itu melihat-lihat di tengah laut, namun nampaknya abah sudah tak kelihatan lagi di laut. 
Aku pun langsung diajak oleh kedua bapak untuk kembali kekampung meminta bantuan dan melakukan pencarian, setiba dikampung tangisan pun pecah di rumah. emak nangis hingga pingsan. Hari itu juga ternyata ada kunjungan dari gubernur di gedung pertemuan desa. Gubernur datang dengan membawa bantuan untuk para nelayan sesuai dengan janjinya semasa kampanye untuk menghapus air mata masyarakatnya, namun sayang air mata emak dan aku masih terus tumpah karena abah telah dibawa oleh raja arus. pencarianpun dilakukan di perairan pulau taliabu dan mangoli. Kurang lebih 7 hari proses pencarian tidak ada tanda-tanda untuk abah kembali. Mungkin telah dipilih untuk menjadi raja arus selat capalulu.*
 
  *Cerpen ini telah diterbitkan di Malut post pada 14/1/2017

No comments:

Post a Comment